Tuesday 10 June 2014

Definisi

1.      Filsafat
a. Menurut Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni.
b. Rene Descartes mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
Sumber            : Rapar, Jan Hendrik. 2010. Pustaka Flsafat Pengantar Filsafat. Yogyakart: Kanisius
a.       Menurut plato, filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli.
b.      Menurut aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahun) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, retorika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan). (Surajiyo, 2005: 1-2)
Sumber: Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.Jakarta: PT Bumi Aksara
2.      Ilmu
a.       Ilmu adalah penelusuran data atau infomasi melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal-usulnya
b.      “Ilmu adalah menelusuri hakikat sesuatu atau mengungkapkan karakteristik sesuatu dengan optimal”
Sumber            : Taufiq, Muhammad Izzuddin. 2006. Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam. Jakarta: gema Insani Press
a.       Menurut Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni.
b.      Rene Descartes mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
Sumber            : Rapar, Jan Hendrik. 2010. Pustaka Flsafat Pengantar Filsafat. Yogyakart: Kanisius
a. ilmu menurut Mohammad Hatta, adalah pengetahuan yang terkait tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun bangunannya dari dalam.
b. ilmu menurut Karl Pearson, adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. (Bakhtiar, 2014:15)
sumber: Bakhtiar, Amsal: 2014. Filsafat Ilmu. Jakrta: PT Rajagrafindo Persada

3.      Komunikasi
a.       Menurut Rogers dan D. Lawrence Kincaid, “Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam”
Sumber            : Cangara, Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Kelapa Gading Permai
b.      Carl I. Hovland mengatakan, “komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate)
Sumber            :Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
a.       Komunikasi adalah penyampian lambang yang dilakukan manusia. Karenanya komunikasi adalah perilaku yang melekat pada manusia, membuat setiap perilaku manusia punya potensi komunikasi. (Komala, 2009:8)
Sumber: Komala, Lukiati. 2009. Ilmu Komunikasi: Perspektif, Proses, dan Konteks. Bandung: Widya Padjadjaran
4.      Filsafat Ilmu
a.       Filsafat Ilmu merupakan analisis prosedur dan logika tentang penjelasan ilmiah (keilmuan) (Rusidi, 1994:5).
b.      Suriasumantri (1993:330) mengatakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu yang memiliki 3 (tiga) landasan, yaitu landasan ontologis, landasan epistimologis, dan landasan aksiologis
Sumber            : Syam, Nina W. 2010. Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
a.       Filsafat ilmu adalah penyeldikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. (Surajiyo. 2005: 64)
Sumber: Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara
b.      Filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu. (Zamroni, 2009: 54)
Sumber: Zamroni, Muhammad. 2009: Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologi, Epistemologi, Aksiologi. Yogyakarta: Graha Ilmu
5.      Ilmu Komunikasi
a.       Berger dan Chaffe (1983:17) menerangkan bahwa ilmu komunikasi adalah: “Communication science seeks to understand the production, processing and effect of symbol and signal system by developing testable theories containing lawful generalzation, thay explain phenomena associated with production, processing and effect.” (Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahami mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari simbol seta sistem signal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum generalisasi guna menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya.)
Sumber: Wiryanto. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. Grasindo
a.        Ilmu komunikasi adalah suatu pengamatan terhadap produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji dan digeneralisasikan dengan tujuan menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang.
Sumber: Berger dan Chaffe dalam bukunya Handbook of Communication Science
6.      Filsafat Ilmu Komunikasi
a.        
b.       
Sumber :
7.      Epistemologi, Ontologi, Aksiologi
a.       Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan daro objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. (Qomar, 2005:1)
Sumber: Qomar. Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga
b.      Epistemologi adalah
Ontologi adalah
Aksiologi adalah
a.       - Ontologi, adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada. (Surajiyo, 2005:118)
- Ontologi, adalah teori tentang “ada” dan jenis-jenis “ada” (zamroni 2009: 77)
- Epistemologi, adalah filsafat yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. (Zamroni, 2009:87)
-          Epistemologi, adalah teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa inggirsnya menjadi theory of knowledge. (Suarjiyo, 2005:53)
Aksiologi menurut Amsal Bahtiar dalam Zamroni, 2009: 101
-          Berdasarkan bahasa yunani, aksiologi berasal dari kata “axios” yang berarti nilai dan “logos” yangn berarti ilmu. Dengan demikian aksiologi adalah “ilmu tentang nilai”.
-          Mengutip dari Jujun S. Suriasumantri, aksiologi berarti nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
8.      Epistemologi, Ontologi, Aksiologi dari Ilmu Komunikasi
ontologi adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud (nature of being) atau bila dikhususkan artinya adalah sifat gejala atau fenomena yang kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial, ontologi berkaitan terutama dengan interaksi sosial.
Epistemologi, adalah cabang filsafat yang  memperlajari benar tidaknya suatu pengetahuan.
Aksiologi, adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai-nilai.
Sumber: syam, Nina  W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
9.      Syarat Ilmu
a.       Syarat pengetahuan dapat tergolong kedalam ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah (1)dasar pembenaran, yaitu mengharuskan seluruh cara kerja ilmiah diarahkan untuk mempeoleh derajat kepastian yang setinggi mungkin pada pengetahuan yang dihasilkan; (2) sifat sistematis, artinya terdapat sistem di dalam susunan suatu pengetahuan ilmiah (prosuk) dan di dalam cara memperoleh pengetahuan itu (proses, metode); (3) sifat intersubjektif.
Sumber : Semiawan, Conny dkk. 2007. Panorama Filsafat Ilm: Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Teraju
b.      Syarat ilmu pengetahuan adalah (1) Sistematis, maksudnya mempunyai bentuk susunan dan aturan permainan yang sama; (2)  logis rasional, yaitu suatu cara penjelasan yang hasil penjelasannya tersebut dapat dicerna oleh akal sehat atau masuk akal; (3) objetif, diberi pengertian bahwa kebenaran melekat pada bendanya dan bukan pada orang yang menilainya. Pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan apabila memiliki kebenaran yang objektif; (4) prediktif, artinya memilii kemampuan untuk meramal atau memprediksi kejadian di kemudian hari.
Sumber : Soeroso, Andrean. 2008. Sosiologi 1: SMA Kelas X. Jakarta:Yudhistira
10.  Syarat Berfikir Filsafat
(syarat filsafat)
1. Meniadakan kecongkakan maha tau sendiri
2. perlunya sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran
3. memahami secara sungguh-sungguh persoalan-persoalan filsafat serta berusaha memikirkan jawabannya
4. latihan intelektual itu dilakukan secara aktif dari wakt ke wakt dan diungkapkan, baik secara lisan maupun tulisan
5. sikap keterbukaan diri (syam, 2010: 86)
b.  1. Objektif. Ilmu harus memliki objek kajian yang terdiri dari suatu golongan masalah yang sama sifat hakikinya, tampak dari luar maupun dari dalam
2. metode. Dalam upaya mencapai kebenran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan yang harus diminimalisirkan
3. sistemats. Karena mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek. Ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem
4. universal. Kebenran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan bersifat umum. (Komala,2009:4-5)
11.  Landasan Ilmu Komunikasi
12.  Objek Ilmu Komunikasi
13.  Hubungan Filsafat dengan Metodologi itu apa
14.  Apa itu teori
a.       “Teori adalah suatu pernyataan yang isinya menyebabkan atau mengkarakteristikkan beberapa fenomena”, menurut Stevens.
b.      Fawcett mendefinisikan teori sebagai” “Suatu terori adalah suatu deskripsi fenomena tertentu, suatu penjelasan tentang hubungan antara fenomena, atau ramalan tentang akibat-akibat satu fenomena pada fenomena lainnya”.
Sumber: Brink, Pamela J. dan Marilynn J. Wood. 2000. Langkah Dasar dalam Perencanaan Riset Keperawatan: dari Pertanyaan sampai Proposal. E/4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
a.       Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungn yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. (Creswell, 1993:120)
Sumber: Creswell, John W. 1993. Qualitative & Quantitative Approach Research Design. London: Sage
b.      Suatu teori ialah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis terhadap fenomena dengan menrima hubungan-hubungan antarvariabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. (Syam, 2010:128)
Sumber: Syam, Nina W. 2010. Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
15.  Apa perbedaan  metode dan metodologi
a.       Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis, sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. (Suriasumantri, 2005 : 49)
Sumber: Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Surya Multi Grafika
b.      Peter R. Senn mengatakan bahwa metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.
Metodologi membahas konsep teroritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian. (Qomar, 2005 :20)
Sumber            : Qomar. Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga


Semiotika

Pengertian Semiotika
Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala yang ada di sekelilingnya dan dianggap sebagai tanda. Ferdinand de Saussure merumuskan tanda sebagai kesatuan dari signifier (penanda), konsep atau bentuk; dan signified (petanda) atau makna.
Sebagai ilmu, semiotika adalah ilmu tentang tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya. Semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Semiotika juga mempelajari bagaimana tanda melakukan penandaan.
Seggers memberikan batasan yang hampir sama bahwa semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada sign system (code) (Segers, 2000:4). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tnda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Hjelmslev mendefisnisikan tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan). Tnda, dalam pandangan Pierse adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir (Muhibbin, 2006:18).
Semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara mengubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara bersagam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Semiotika memiliki keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai “deskripsi-deskripsi tebal (thick descriptions) yang bertekstur serta analisis-analisis yang kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisimal –peneliti lain yang memperlajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda! Namun,  hal ini tidak menguragi nilai semiotika karena semiotika adalah tentang memperkaya pemahaman kita terhadap teks. Sebagai sebuah metode, semiotika bersifat interpretatif dan, konsekuensinya, sangat subjektif.
Semiotika sebagai Ilmu
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Sausure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, di belakangnya harus ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Hidayat, 1998:26). Sedangkan Peire menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makna, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatn, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semua itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda, disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakan bahwa petanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagaian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya.
Menurut Pierce, tanda (representament) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretatntt. Jadi interpretantt ialah pemahaman makan yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa disekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda akan turun hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent), dann konsep (interpretantt atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretant. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjtnya, terjadia tingkatan rangkaian semiosis. Interpretant pada rangkaian semiosis lapisan pertama akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118-119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya berlangsung ketika interpretantt dipengaruhi oleh banyaknya penafsir dan objek atau tanda.
Tanda (Ikon, Indeks, Simbol)
Merujuk teori Pierce (North, 1995:45), tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke dalam ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, peta Yogyakarta adalah ikon wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.
Kode
Kode menurut Piliang (1998:17) adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Sedangkan kode dalam terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo, 1986:27). Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).
Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, 1992:92).
Kode pertama yang berlalau pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-tekss tersusun menurut kode-kode ain yang disebut ode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk agumentasi, sistem metrik, semua itu merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam tes-teks untuk mengalihkan arti.
Roland Barthes dalam buku S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:
Kode hermeneutik, yaitu artikulasi pelbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana.Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.
Kode semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi femininitas dan maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantik adala tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi masjulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas.
Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, atau skizofrenia.
Kode narasi atau proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi, atau antinarasi.
Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, dan legenda.
Makna Denotatif dan Konotatif
Kita seringkali menggunakan makna tetapi seringkali pula kita tidak memikirkan makna itu. Kita bermain dengan makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, lalu menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.
Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau leih. Ketiga, hubungan antara simbol dengan rujukan. Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Spradley (1997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14) mengartikan makna denotatif hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan terhadap denotatif.
Spradley (1997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi.
Menurut Williamson, teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenl, figurbintang iklan tersebut dipinjam  mitos, ideologi, image, dan sifat-sifat glamour bintang film tersebut. 

Berdasarkan tujuannya, secara garis besar iklan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu Iklan Komersial dan Iklan non-komersial. Iklan Komersial/bisnis adalah iklan yang bertujuan mendapatkan keuntungan ekonomi, utamanya meningkatkan penjualan. Iklan jenis ini dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: Iklan Konsumen – dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan bisnis dimana pesan iklan ditujukan kepada konsumen akhir, yaitu pengguna terakhir suatu produk; Iklan Bisnis – adalah iklan yang disampaikan dengan maksud mendapatkan keuntungan ekonomi dimana sasaran pesan yang dituju adalah seseorang atau lembaga yang akan mengolah atau menjual produk yang diiklankan tersebut kepada konsumen akhir; dan Iklan Profesional – adalah iklan yang disampaikan dengan maksud mendapatkan keuntungan bisnis dimana khalayak sasaran iklan adalah segmen khusus, yaitu para profesional

Iklan Layanan Masyarakat

Iklan yang digunakan untuk menyampaikan informasi, mempersuasi atau mendidik khalayak dimana tujuan akhir bukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, melainkan keuntungan sosial. Keuntungan sosial disini dapat berarti penambahan pengetahuan, kesadaran sikap dan perubahan perilaku masyarakat terhadap masalah yang diiklankan, serta mendapatkan citra baik di mata masyarakat.

Sosiologi Fenomenologis Berger: Bersosiologi dengan Proses Berpikir Fenomenologi

Menurut Berger, semua yang kita tahu dan ada, hanyalah sebatas konstruksi sosial; konstruksi sosial atas realitas.
A.    Media Massa dan Konstruksi Realitas
Teori konstruksi sosial diterapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam sosiologi pengetahuan. Pembentukan masyarakat terjadi melalui tiga proses, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Berger menyatakan bahwa proses konstruksi terjadi diantara individu. Bungin mengkritik konsep tersebut jika konsepnya digunakan pada media massa atau media komunikasi. Berikut kritik Bungin:
1.      Subjek konstruksi tidak selamanya terjadi langsung diantara individu atau individu dengan masyarakat dan negara, tetapi bisa berasal dari media.  Menurut Bungin, konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi karena iklan televisi adalah bagian dari media televisi dan menjadi salah satu sumber otoritas televisi.
2.      Objek yang dibangun konstruksi sosial berupa wacana publik, kesadaran umum, dan konsep-konsep yang objektif, subjektif, maupun simbolis. Menurut Bungin, realitas sosial yang dibangun oleh konstruksi iklan televisi adalah realitas yang bersifat maya, hanya ada di dalam media karena itu bersifat subjektif dan simbolis.
3.      Menurut Bungin, gagasan Berger & Luckmann dapat didekonstruksi oleh individu sebagai bagian proses dialektika antara pemikiran konstruksi sosial dan dekonstruksi. Dekonstruksi dilakukan oleh pemirsa televisi sebagai bagian dari proses konstruksi sosial, yang akhirnya akan membentuk keputusan-keputusan perilaku konsumen.
Ibnu Hamad, seorang ilmuan sosial Indonesia, mengatakan bahwa karena sifat dan fakta pekerjaan media massa adalah menceritakan berbagai peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang disiarkan. Media menyusun realitas atas berbagai peristiwa yang terjadia hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah menyusun realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wancana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Menurut Hamad, bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Seluruh isi media menggunakan bahasa, baik bahasa verbal maupun nonverbal.
Dalam paradigma komunikasi, studi Bungin dan Hamad seolah memperkuat paradigma konstruktivisme (constuctivism paradigm) dimana realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial sehingga kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.
B.     Realitas Sosial sebagai Pengetahuan Sosiologi
Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann sangat dipengaruhi Alfred Schutz. Melalui berbagai karyanya, mereka menjadikan fenomenologi sebagai pendekatan yang mudah digunakan dalam sosiologi.
Menurut Berger dan Luckmann, masyarakat mesti dilihat baik sebagai realitas objektif maupun sebagai realitas subjektif. Seperti yang ditulis Veeger, hal poko tersebut tidak langsung dimengerti dalam seluruh implikasinya bagi sosiologi. Veeger mengatakan, sampai abad ini sosiologi menunjukkan ciri-ciri berat sebelah, yang mengingatkan kita akan sifat ekstrem pandangan kolektivistis dan pandangan individualistis.
C.    Relasi antara individu dan Struktur Sosial:Sebuah Perdebatan Penting
Sebuah perdebatan penting dalam teori sosiologi adalah pada relasi antara individu dan struktur sosial. Kita bisa melihat terdapat tiga posisi utama dalam perdebatan tersebut:
1.      Beberapa sosiolog berpendapat bahwa struktur tidak bisa dianggap determinan. Bahkan ada pendapat bahwa struktur sosial sama sekali tidak ada.
2.      Posisi yang bersebrangan menyatakan bahwa sosiologi seharusnya hanya menaruh perhatian pada struktur sosial yang menentukan watak dan tindakan individu sehingga watak agensi menjadi tidak penting.
3.      Ada proses dialektis: makna diberikan oleh individu kepada dunia mereka kemudian dari sistem makna yang dipakai individu dan membatasi tindakan mereka.
Berger sudah merumuskan tujuan sosiologi dalam bentuk serangkaian pertanyaan, yakni: “Apa yang sedang orang lakukan disini satu sama lain? Hubungan seperti apa yang terdapat diantara mereka? Bagaimanakah hubungan tersebut telah diatur dan disusun menjadi lembaga-lembaga sosial (kemasyaakatan)’ Gagasan-gagasan manakah yang mendorong orang dan lembaga mereka?”
Dalam pendangan Berger, sosiolog ialah seseorang yang tertarik oleh manusia serta kelakuannya. Menurut Berger, “Thinks are not what they seem”. Sulit bagi Berger merevisi atau memperbaiki definisi Ma weber, yakni bahwa situasi sosial adalah situasi dimana orang mengarahkan perilaku mereka yang satu kepada orang lain. Lapisan makna, pengarapan, dan perilaku atau perbuatan dihasilkan oleh orientasi timbal-balik ini merupakan bahan untuk analisis sosiologis. Dengan demikian, sama seperti Max Weber, Berger pun hendak bertolak dari kesadaran manusia.
D.    Sosok dan Pemikiran Berger
Pemikiran Peter Ludwig Berger banyak dipengaruhi sosiologi klasik dan sosiologi fenomenologis.
Berger dilahirkan di Austria, kemudian menjalani pendidikannya di AS. Pda tahun 1960-an, lahirlah pemikiran Berger pertama kali. Saat itu fungsionalisme semakin ditinggalkan oleh sosiolog Amerika. Perhatian mulai beralih ke perspektif konflik dan ke persoalan yang bernuansa humanistis.
Reaksi negatif terhadap Berger muncul seiring dengan kian meluas gaung perspektif teoretisnya. Seperti yang dilontarkan Douglas dan Johnson bahwa Berger sesuangguhnya tergolong pemikir Durhemian. Menurutnya, usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi realitas, intinya hanya usaha untuk memberi justifikasi atau gagasan Durkheim menggunakan fenomenologi.

Menurut Berger pendekatan fenomenologi akan terhenti ketika mulai memasuki area ilmu (positivistik). Baginya, fenomenologi hanya sebuah metode deskriptif dan empiris karena berdasarkan pengalaman manusia. 

Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi secara Umum dan di Indonesia

Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi
A.    Filsafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi 
Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponenfilsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normative dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:
1.      Ontologis: What It Is?
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
1.      Epistemologis: How To Get?
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.
1.      Aksiologis: What For?
Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
B.     Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi di Yunani
1.      Masa Demokrasi Klasik
Filsafat komunikasi yang berkembang di Yunani berakar pada ajaran retorika. Perkembangan retorika di Yunani berlangsung melalui tradisi komunikasi publik atau lebih dikenal perkembangan debat. Istilah retorika dikenalkan pertama kali oleh Georgiaas pada tahun 427 SM.  Retorika di Yunani berkembang melalui tradisi komunikasi publik yang dikenal dengan perkembangan debat. Pelopornya adalah Protagoras.
2.      Kaum Sofis (The Sophist)
Empedokles mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dibawa dan diperkenalkan oleh Georgias. Georgias kemudian dalam retorikanya memberi penekanan pada dimensai bahasa yang puitis dan teknik berbicara yang impromtu. Menurut Protagoras, kemahiran berbicara titujukan untuk keindahan bahasa. Georgias dan Protagoras berkeliling negeri ututk mengajarkan retorika dan mendirikan sekolah-sekolah retorika. Protagoras bersama murid-muridnya telah memproklamasikan diri sebagai kaum sophistai (atau sophist, guru kebijaksanaan).
Demosthenes berhasil mengembangkan retorika dengan gaya yang jelas dan keras. Konsep pidatonya menggabungkan narasi dengan argumentasi. Pada masa itu kaum sofis menjadi populer. Akan tetapi banyak pihak yang mengkritik, termasuk Socrates. Socrates kemudian mengembangkan teknik-teknik retorika untuk kebenaran dengan teknik-teknik dialog. Bersama Plato, mereka mengembangakn teknik retorika dengan adanya pengorganisian pesan dan gaya. Plato mulai meletakkan prinsip dasar retorika dari teknik menjadi retorika ilmiah. Pandangan cerdas Plato diteruskan oleh muridnya, Aristoteles. Bagi Aristoteles, retorika adalah eni persuasi, suatu uraian yang harus singkat, jelas, dan meyakinkan dengan keindahan bahasa yang disusun untuk segala sesuatu yang bersifat memperbaiaki (corrective), memerintah (instruktive), mendorong (suggestive), dan mempertahankan (defensive). Aristoteles juga menyebut 3 faktor yang dapat memengaruhi orator dalam meyakinkan pendengarnya, yaitu: ethos (kepercayaan), pathos (emosi), dan logos (pikiran). Kajian ilmiah retorika Aristoteles bersifat sistematis dan komprehensif sehingga banyak dipelajari oleh bangsawan dan negarawan Yunani.
3.     Aliran Socrates (The Socratic School)
Dipelopori oleh Socrates dan Plato atas reaksinya terhadap kaum Sofis. Mereka menentang kaun Sofis yang mengajarkan teknik untuk membangkitkan emosi dan merintangi pembuatan keputusan rasional. Pendekatan Socrates menekankan peraturan dan keterampilan berkomunikasi dengan keharusan mengembangkan dan menerapkan akal pikiran. Kaum sofis mempertahankan teknik berbicara di depan publik tanpa hambatan, sedangkan pendekatan Socrates menekankan peraturan dan keterampilan berkomunikasi dengan keharusan mengembangkan dan menerapkan akal pikiran.
C.    Sejarah Perkembangan Filsafat komunikasi di Romawi
Selama 200 tahun ajaran Aristoteles berpengaruh di Romawi tanpa adanya penambahan. Pada tahun 100 SM, lahir buku Ad Herrenium yang mensistemasikan retorika gaya Yunani ke dalam cara-cara Romawi. Orang-orang Romawi hanya mengambil segi-segi praktisnya saja dari retorika Yunani. Orang-orang yang terkenal pada masa itu adalah Antonius, Crassus, Rufus, dan Hortensius. Hortensius mengembangkan retorika dengan mempelajari gerakan-gerakan dalam berpidato dan cara penyampaiannya.
Menurut Cicero, efek pidato akan baik bila orator adalah orang yang baik. Prinsip tersebut dikenal dengan istilah The good man speaks well. Menurut Cicero, sistemaktika retorika mencakup dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang bersifat suasio (anjuran) dan dissuaasio (penolakan) , sedangkan daua tahapan retorika ggayanya adalah tahap investio (pencarian bahan) dan tahap ordo collocatio (penyusunan pidato).
Sampai tahun 500 M, retorika di Yunani dan Romawi didominasi oleh negarawan, politisi, dan bangsawan. Pada tahun ini, retorika mulai mengalami kemunduran. Banyak kaisar yang tidak senang dengan orang-orang yang pandai bicara. Abad ini dikenal juga dengan abad kegelapan. Bagi agama Kristen, retorika dianggap kesenian kafir dan jahiliyah, sehingga dilarang untuk dipelajari.
D.    Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi di Eropa
Perkembangan filsafat komunikasi di wilayah Eropa bermula dari Zeitungskunde sebagai bidang kajian di Universitas Bazeel, Swiss. Zeitungskunde diajarkan oleh Karl Bucher. Jasa Karl Bucher:
Pada tahun 1910 Max Weber di Konferensi Sosiologis memperkenalkan pendekatan sosiologis “Soziologie des Zeitungwesens”. Menurut Weber, persoalan modal sanga penting bagi kelembagaan suratkabar, bukan saja menyangkut kebijaksanaan redaksional. Publisistik merupakan perkembangan dari zeitungswissenchaft. Publisistik mengajarkan bahwa setiap pernyataan kepada umum menciptakan suatu hubungan rohaniah antara publisher dengan khalayak. Literatur Jerman yang bermutu mengenai ilmu komunikasai pada fase zeitungskunde dan zeitungswissenchaft diantaranya:
1.     Karl Bucher, Gesammelte aufsatze zeitungskunde Tubingen
2.     Max Weber, Soziologie des zeitungswesens
3.     Erich Evert, Zeitungskunde und universtat jena
4.     Emil Dovifat, Wege un anjurand ziele der zeitungswissenschaftlichen arbeit Berlin
5.      Otto Groth, die zeitung Mannheim
Perkembanagan publisistik selanjutnya ditandai dengan bangkitnya perhatian terhadap masalah retorika, radio, TV, film. Pada zaman Romawi sudah mulai berkembang proses pernyataan melalui media, namun belum dapat dinilai sebagai ilmu.
E.     Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi di Amerika
Sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Amerika sangat dipengaruhi oleh aliran interaksi simbolik di bawah pengaruh filsafat pragmatisme, yang memiliki penekanan pada pembahasan sikap dan kepribadian yang menitikberatkan pada diri dan kepribadian.
Perkembangan filsafat komunikasi di Amerika Serikat dapat menelusuri sejarah pertumbuhan jurnalisme dan retorika di Amerika, antara lain terdapat empat fase:
Fase Benjamin Franklin
Perkembangan jurnalisme sebagai seni. Penelitian jurnalistik  & pendokumentasian belum dilakukan secara ilmiah
Fase Robert Lee
Memprakarsai pendidikan jurnalistik di Washington College, universitas Missouri, kansas & Pennsylvania
Fase Harold Lasswell
Dibuat Propaganda Technique: The word War. Lasswell menganalisis isi media dengan metode sistematik dan ilmiah. Sumbangan paling besarnya adalah metodologi
Fase Willbur Schramm
Studi komunikasi secara interdisipliner. Merintis penelitian efek media terhadap pendidikan, pembangaunan nasional, komunikasi satelit, dan pedesaan.
Robert Bierstedt memasukkan jurnalistik sebagai ilmu, yaitu ilmu terapan. Selain menyiarkan pemberitaan, radio dan televisi juga menyiarkan produk-produk siaran lainnya. Maka journalism berkembang menjadi mass communication.
Dalam perkembangan selanjutnya, mass communication dianggap tidak lagi tepat karen tidak merupakan proses komunikasi yang menyeluruh. Di Amerika Serikat muncul communication science atau kadang-kadang dinamakan juga communicology¸ yaitu ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari proses komunikasi massa, komunikasi kelompok, dan komunikasi anterpersona.
Kebutuhan orang-orang Amerika akan science of communication tampak sejak tahun 1940-an, pada waktu seorang sarjana Carl. I Hovland menampilkan definisinya mengenai ilmu komunikasi. Hovland mendefinisikan science of communication sebagai: “a systematic attemp to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitudes are formed”.
Komunikasi muncul sebagai disiplin akademis tersendiri pada akhir 1940 an, yang ditandai dengan pembentukan Institut Penelitian Komunikasi (Institute of Communication Research) di Universitas Illinois pada tahun 1948 yang dipimpin oleh salah satu pakar dan perintis ilmu komunikasi terkemuka, Wilbur Schramm.
F.     Sejarah Perkembangan Filsafat Komunikasi Perspektif Islam
Perkembanganfif filsafat komunikasi dalam perspektif ajaran Islam dirujuk keberadaannya pada Al-quran dan Al-hadist. Didalamnya terkandung sejumlah prinsip yang mengatur berbagai kajian aspek mengenai komunikasi. Pada tahun ke-6 di Timur Tengah berkembang agama Islam. Nabi Muhammas saw sebagai utusan Allah telahs berhasil membawa perubahan hidup manusia melalui firman-firman Allah saw yang ia sampaikan. Nabi Muhammad berhasil membawa perubahan kebidupan manusia pada saat itu kepada kehidupan yang penuh hukum, aturan, dan tatanan bermasyarakat. Retorikanya begitu menyentuh hati, kata-katanya lantang dan tegas, serta wajahnya mengekspresikan ketegasan. Nabi Muhammad saw tidak pernah mempelajari retorika dari Georgias, Arietoteles, atau Cicero. Ia mempelajari retorika melalui bimbingan wahyu dan ia menganjurkan kepada para pengikutnya untuk mengajak manusia pada kebenaran dengan prinsip-prinsip qaulan syadidan, qaulan balighan, qaulan masyuran, qaulan layyinan, qaulan kariman.
G.    Perspektif Perkembangan Ilmu Komunikasi
Menurut Fisher, ada 4 perspektif perkembangan ilmu komunikasi,
(1)   Perspektif mekanistis
Menurut Descartes, manusia terdiri dari dua macam zat yaitu zat yang dapat berpikir dan zat yang mempunyai luas. Diawali sejak zaman Aristoteles yang mengatakan unsur retorika terdiri dari ethos, pathos, dan logos.
(2)   Perspektif psikologis
Wilhelm Wundt mengatakan “dalam kelangsungan pemikiran itu dapat terjadi proses-proses sosial, dimana hubungan erat dua atau tanggapan menyebabkan terseretnya tanggapan yang satu oleh yang lain di dalam pemikiran manusia. Menurut John Stuard Mill, psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Konsep-konsep ini dipakai dalam ilmu komunikasi, yang terkenal dengan teori kepribadian dengan konsep id, ego, dan superego (Sigmund Freud)
(3)   Perspektif interaksional. George Herbert Mead mengatakan bahawa pikiran mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan peristiwa yang dialaminya, menerangkan asal mula dan meramalkannya.
(4)   Perspektif Pragmatis. Post-positivisme dipengaruhi oleh (1) Materialisme: Feurbach – Karl Marx; (2) Fenomenologis : Husserl – Scheler. Pejarah perkembangan filsafat diawali pada renaissance.
H.    Sejarah Perkembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia
Ilmu Komunikasi berawal dari dekade 40-an ketika Amerika menghadapi propaganda dalam rangka menghadapi peperangan. Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang tergolong muda. Sekalipun pada sisi yang lain, sejarah perkembangan ilmu komunikasi sudah tua sejak masa Yunani dan baru dirumuskan dalam era modern sebagai ilmu baru sejak dekade PD II. Ilmu publistik merupakan sebutan awal bagi ilmu komunikasi. Ilmu komunikasi lahir di Amerika dan berkembang di Eropa, khususnya Jerman.
Berikut  sejumlah figur dalam ilmu komunikasi seperti Paul F. Lazarfeld, Wilbur Schramm, Harold Lasswell, Walter Lippmann, Bernard Berelson, Carl Hovland, Elihu Katz, Daniel Lerner, David K. Berlo, Shannon, Mc Comb, George G. Gebner, dan sebagainya.
Selain tokoh-tokoh komunikasi barat, di Indonesia terdapat sejumlah figur penting dalam bidang Ilmu Komunikasi seperti M. Alwi Dahlan, Astrid Susanto Sunario, Andi Muis, Jalaludin Rahmat, Ashadi Siregar, Anwar Arifin, Hafid Changara, Dedy N. Hidayat, Marwah Daud Ibrahim, Onong Efendi Uchayana, dan sebagainya. Karya-karya mereka telah memberi warna bagi eksistensi kajian ilmu komunikasi di Indonesia.
Di Indonesia, aktivitas ilmiah dalam kajian komunikasi dapat dilihat melalui kegiatan yang diadakan oleh kampus atau lembaga pemerintahan lainnya. Bahkan tampak pula kemunculan lembaga baru humas yaitu Public Relation Society of Indonesia. Tampaknya institusi semacam ini yang terlihat melakukan aktivitas ilmiah dalam kajian komunikasi. Selain itu, ada juga kajian komunikasi melalui lembaga LSM seperti Media Watch seperti ISAI, LSPP, LKM, dan sebagainya.
Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji sekarang merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi. Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang merubah nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa.
Kajian terhadap ilmu komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan dibukanya jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama Ilmu Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970-an.
Beberapa nama tokoh yang berjasa dalam mengembangkan ilmu komunikasi antara lain, Drs Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro dan Prof. Dr. Mustopo. Kemudian ditambah lagi pakar komunikasi Astrid S. Susanti dan Alwi Dahlan (keduanya dari luar negeri, Astrid dari Jerman dan Alwi dari Amerika).







Daftar Pustaka
Effendy, O. U . 2003. Teori, Ilmu, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu: Telaah Sitematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Mulyana, D. 2004. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Rakhmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Syam, Nina W. 2010. Filasafat sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media