Tuesday, 10 June 2014

Semiotika

Pengertian Semiotika
Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala yang ada di sekelilingnya dan dianggap sebagai tanda. Ferdinand de Saussure merumuskan tanda sebagai kesatuan dari signifier (penanda), konsep atau bentuk; dan signified (petanda) atau makna.
Sebagai ilmu, semiotika adalah ilmu tentang tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya. Semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Semiotika juga mempelajari bagaimana tanda melakukan penandaan.
Seggers memberikan batasan yang hampir sama bahwa semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada sign system (code) (Segers, 2000:4). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tnda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Hjelmslev mendefisnisikan tanda sebagai suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan). Tnda, dalam pandangan Pierse adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir (Muhibbin, 2006:18).
Semiotika memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara mengubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara bersagam unsur teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Semiotika memiliki keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai “deskripsi-deskripsi tebal (thick descriptions) yang bertekstur serta analisis-analisis yang kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisimal –peneliti lain yang memperlajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda! Namun,  hal ini tidak menguragi nilai semiotika karena semiotika adalah tentang memperkaya pemahaman kita terhadap teks. Sebagai sebuah metode, semiotika bersifat interpretatif dan, konsekuensinya, sangat subjektif.
Semiotika sebagai Ilmu
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Sausure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, di belakangnya harus ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Hidayat, 1998:26). Sedangkan Peire menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makna, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatn, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semua itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda, disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih lanjut dikatakan bahwa petanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagaian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya.
Menurut Pierce, tanda (representament) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretatntt. Jadi interpretantt ialah pemahaman makan yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa disekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda akan turun hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent), dann konsep (interpretantt atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretant. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjtnya, terjadia tingkatan rangkaian semiosis. Interpretant pada rangkaian semiosis lapisan pertama akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.
Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118-119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya berlangsung ketika interpretantt dipengaruhi oleh banyaknya penafsir dan objek atau tanda.
Tanda (Ikon, Indeks, Simbol)
Merujuk teori Pierce (North, 1995:45), tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke dalam ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, peta Yogyakarta adalah ikon wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.
Kode
Kode menurut Piliang (1998:17) adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Sedangkan kode dalam terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo, 1986:27). Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9).
Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, 1992:92).
Kode pertama yang berlalau pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-tekss tersusun menurut kode-kode ain yang disebut ode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk agumentasi, sistem metrik, semua itu merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam tes-teks untuk mengalihkan arti.
Roland Barthes dalam buku S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:
Kode hermeneutik, yaitu artikulasi pelbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana.Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.
Kode semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi femininitas dan maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantik adala tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi masjulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas.
Kode simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, atau skizofrenia.
Kode narasi atau proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi, atau antinarasi.
Kode kebudayaan atau kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, dan legenda.
Makna Denotatif dan Konotatif
Kita seringkali menggunakan makna tetapi seringkali pula kita tidak memikirkan makna itu. Kita bermain dengan makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, lalu menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.
Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau leih. Ketiga, hubungan antara simbol dengan rujukan. Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Spradley (1997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14) mengartikan makna denotatif hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan terhadap denotatif.
Spradley (1997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi.
Menurut Williamson, teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenl, figurbintang iklan tersebut dipinjam  mitos, ideologi, image, dan sifat-sifat glamour bintang film tersebut. 

Berdasarkan tujuannya, secara garis besar iklan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu Iklan Komersial dan Iklan non-komersial. Iklan Komersial/bisnis adalah iklan yang bertujuan mendapatkan keuntungan ekonomi, utamanya meningkatkan penjualan. Iklan jenis ini dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: Iklan Konsumen – dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan bisnis dimana pesan iklan ditujukan kepada konsumen akhir, yaitu pengguna terakhir suatu produk; Iklan Bisnis – adalah iklan yang disampaikan dengan maksud mendapatkan keuntungan ekonomi dimana sasaran pesan yang dituju adalah seseorang atau lembaga yang akan mengolah atau menjual produk yang diiklankan tersebut kepada konsumen akhir; dan Iklan Profesional – adalah iklan yang disampaikan dengan maksud mendapatkan keuntungan bisnis dimana khalayak sasaran iklan adalah segmen khusus, yaitu para profesional

Iklan Layanan Masyarakat

Iklan yang digunakan untuk menyampaikan informasi, mempersuasi atau mendidik khalayak dimana tujuan akhir bukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, melainkan keuntungan sosial. Keuntungan sosial disini dapat berarti penambahan pengetahuan, kesadaran sikap dan perubahan perilaku masyarakat terhadap masalah yang diiklankan, serta mendapatkan citra baik di mata masyarakat.

No comments:

Post a Comment