Pengertian
Semiotika
Kata
semiotika berasal dari kata Yunani semeion,
yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari arti
atau berusaha memahami segala yang ada di sekelilingnya dan dianggap sebagai
tanda. Ferdinand de Saussure merumuskan tanda sebagai kesatuan dari signifier (penanda), konsep atau bentuk;
dan signified (petanda) atau makna.
Sebagai
ilmu, semiotika adalah ilmu tentang tanda (sign)
dan segala yang berhubungan dengannya. Semiotika adalah teori tentang tanda dan
penandaan. Semiotika juga mempelajari bagaimana
tanda melakukan penandaan.
Seggers
memberikan batasan yang hampir sama bahwa semiotika adalah suatu disiplin yang
menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada
sign system (code) (Segers, 2000:4). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Tnda-tanda (signs)
adalah basis dari seluruh komunikasi. Hjelmslev mendefisnisikan tanda sebagai
suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression
plan) dan wahana isi (content plan).
Tnda, dalam pandangan Pierse adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda hadir dalam proses
interpretasi (semiosis) yang mengalir (Muhibbin, 2006:18).
Semiotika
memecah-mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka
dengan wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara
mengubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini
memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara bersagam unsur
teks bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan
makna. Semiotika memiliki keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut
Clifford Geertz (1973) sebagai “deskripsi-deskripsi tebal (thick descriptions) yang bertekstur serta analisis-analisis yang
kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisimal
–peneliti lain yang memperlajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah
makna yang berbeda! Namun, hal ini tidak
menguragi nilai semiotika karena semiotika adalah tentang memperkaya pemahaman
kita terhadap teks. Sebagai sebuah metode, semiotika bersifat interpretatif
dan, konsekuensinya, sangat subjektif.
Semiotika sebagai Ilmu
Semiotika
menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan
Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu
semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa
dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah
linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Sausure menyebut ilmu yang
dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi
menurut Saussure seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama
perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai
tanda, di belakangnya harus ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan
makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (Hidayat, 1998:26). Sedangkan
Peire menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Pierce yang ahli filsafat dan logika, penalaran
manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar
lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat
diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya,
istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign),
berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang
dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda
tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristwa, tidak adanya peristiwa, struktur
yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut tanda.
Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan,
suatu kebiasaan makna, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa
memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu suatu sikap,
setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat,
berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatn,
kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semua itu dianggap sebagai tanda
(Zoest, 1993:18).
Menurut
Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda adalah kesatuan dari dua
bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada
tanda, disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar)
mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk.
Aspek lainnya disebut signified, bidang
petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama.
Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih
lanjut dikatakan bahwa petanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud
atau merupakan bagaian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek,
dan sebagainya.
Menurut
Pierce, tanda (representament) ialah
sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco,
1979:15). Tanda akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Pierce
disebut objek (denotatum). Mengacu
berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila
diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretatntt. Jadi interpretantt
ialah pemahaman makan yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda
baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi
berkat ground, yaitu pengetahuan
tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang
dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.
Selanjutnya
dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang
dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.
Ikon
adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa
disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan
eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi.
Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa disekitar tempat itu ada
bangunan tertentu. Langit berawan tanda akan turun hujan. Simbol adalah tanda
yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah
bahasa tulisan.
Ikon,
indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent), dann konsep (interpretantt atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah
dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretant.
Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan
iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir.
Selanjtnya, terjadia tingkatan rangkaian semiosis.
Interpretant pada rangkaian semiosis lapisan
pertama akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi
rangkaian semiosis lapisan kedua.
Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai
penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya.
Terkait
dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim (2005:118-119)
mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi
dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan
pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai
kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau
setidaknya intersubjektif. Semuanya berlangsung ketika interpretantt dipengaruhi oleh banyaknya penafsir dan objek atau
tanda.
Tanda (Ikon, Indeks, Simbol)
Merujuk
teori Pierce (North, 1995:45), tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke
dalam ikon, indeks, dan simbol.
Ikon
adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan,
ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang
dimaksudkan. Misalnya, peta Yogyakarta adalah ikon wilayah Yogyakarta yang
digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari
Sultan.
Indeks
merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya
atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya, asap menunjukkan adanya api.
Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat
itu. Tanda tangan (signature) adalah
indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.
Simbol
merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang
disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti
arti yang telah disepakati sebelumnya.
Kode
Kode
menurut Piliang (1998:17) adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati
secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang
lainnya. Sedangkan kode dalam terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur
yang memiliki bentuk khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo,
1986:27). Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan
diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode
sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem
komunikasi. (Eco, 1979:9).
Fungsi
teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan
berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan
alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut
Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, 1992:92).
Kode
pertama yang berlalau pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk
mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus
dan tata bahasa. Selain itu, teks-tekss tersusun menurut kode-kode ain yang
disebut ode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu
bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk
agumentasi, sistem metrik, semua itu merupakan kode-kode sekunder yang
digunakan dalam tes-teks untuk mengalihkan arti.
Roland
Barthes dalam buku S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi
kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan
kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode
tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut:
Kode hermeneutik, yaitu
artikulasi pelbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan
jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik
berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana.Siapakah mereka?
Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban
yang satu menunda jawaban lain.
Kode semantik, yaitu
kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi femininitas
dan maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantik adala tanda-tanda yang
ditata sehingga memberikan suatu konotasi masjulin, feminin, kebangsaan,
kesukuan, atau loyalitas.
Kode simbolik, yaitu
kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan
dua unsur, atau skizofrenia.
Kode narasi atau
proairetik yaitu kode yang mengandung
cerita, urutan, narasi, atau antinarasi.
Kode kebudayaan atau
kultural, yaitu suara-suara yang
bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan,
sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, dan legenda.
Makna Denotatif dan Konotatif
Kita
seringkali menggunakan makna tetapi seringkali pula kita tidak memikirkan makna
itu. Kita bermain dengan makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, lalu
menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat.
Semua
simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol
itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau
leih. Ketiga, hubungan antara simbol
dengan rujukan. Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik.
Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau
alami.
Salah
satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih
besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Spradley
(1997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh
kata-kata (makna referensial). Piliang
(1998:14) mengartikan makna denotatif hubungan eksplisit antara tanda dengan
referensi atau realitas dalam pertandaan terhadap denotatif.
Spradley
(1997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari
simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17),
makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi
serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi.
Menurut
Williamson, teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus
peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenl,
figurbintang iklan tersebut dipinjam
mitos, ideologi, image, dan
sifat-sifat glamour bintang film
tersebut.
Berdasarkan tujuannya, secara
garis besar iklan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu Iklan Komersial dan
Iklan non-komersial. Iklan Komersial/bisnis adalah iklan yang bertujuan
mendapatkan keuntungan ekonomi, utamanya meningkatkan penjualan. Iklan jenis
ini dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: Iklan Konsumen –
dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan bisnis dimana pesan iklan ditujukan
kepada konsumen akhir, yaitu pengguna terakhir suatu produk; Iklan Bisnis –
adalah iklan yang disampaikan dengan maksud mendapatkan keuntungan ekonomi
dimana sasaran pesan yang dituju adalah seseorang atau lembaga yang akan
mengolah atau menjual produk yang diiklankan tersebut kepada konsumen akhir;
dan Iklan Profesional – adalah iklan yang disampaikan dengan maksud
mendapatkan keuntungan bisnis dimana khalayak sasaran iklan adalah segmen
khusus, yaitu para profesional
Iklan Layanan Masyarakat
Iklan yang digunakan
untuk menyampaikan informasi, mempersuasi atau mendidik khalayak dimana tujuan
akhir bukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, melainkan keuntungan sosial.
Keuntungan sosial disini dapat berarti penambahan pengetahuan, kesadaran sikap
dan perubahan perilaku masyarakat terhadap masalah yang diiklankan, serta
mendapatkan citra baik di mata masyarakat.
No comments:
Post a Comment