Menurut Berger, semua
yang kita tahu dan ada, hanyalah sebatas konstruksi sosial; konstruksi sosial
atas realitas.
A. Media Massa dan Konstruksi Realitas
Teori
konstruksi sosial diterapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam
sosiologi pengetahuan. Pembentukan masyarakat terjadi melalui tiga proses,
yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Berger
menyatakan bahwa proses konstruksi terjadi diantara individu. Bungin mengkritik
konsep tersebut jika konsepnya digunakan pada media massa atau media
komunikasi. Berikut kritik Bungin:
1.
Subjek konstruksi tidak selamanya
terjadi langsung diantara individu atau individu dengan masyarakat dan negara,
tetapi bisa berasal dari media. Menurut
Bungin, konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi karena iklan televisi
adalah bagian dari media televisi dan menjadi salah satu sumber otoritas
televisi.
2.
Objek yang dibangun konstruksi sosial
berupa wacana publik, kesadaran umum, dan konsep-konsep yang objektif,
subjektif, maupun simbolis. Menurut Bungin, realitas sosial yang dibangun oleh
konstruksi iklan televisi adalah realitas yang bersifat maya, hanya ada di
dalam media karena itu bersifat subjektif dan simbolis.
3.
Menurut Bungin, gagasan Berger &
Luckmann dapat didekonstruksi oleh individu sebagai bagian proses dialektika
antara pemikiran konstruksi sosial dan dekonstruksi. Dekonstruksi dilakukan
oleh pemirsa televisi sebagai bagian dari proses konstruksi sosial, yang
akhirnya akan membentuk keputusan-keputusan perilaku konsumen.
Ibnu
Hamad, seorang ilmuan sosial Indonesia, mengatakan bahwa karena sifat dan fakta
pekerjaan media massa adalah menceritakan berbagai peristiwa, maka kesibukan
utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang disiarkan. Media
menyusun realitas atas berbagai peristiwa yang terjadia hingga menjadi cerita
atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah
menyusun realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wancana yang
bermakna. Dengan demikian, seluruh isi media adalah realitas yang telah
dikonstruksikan (constructed reality) dalam
bentuk wacana yang bermakna. Menurut Hamad, bahasa merupakan instrumen pokok
untuk menceritakan realitas. Seluruh isi media menggunakan bahasa, baik bahasa
verbal maupun nonverbal.
Dalam
paradigma komunikasi, studi Bungin dan Hamad seolah memperkuat paradigma
konstruktivisme (constuctivism paradigm) dimana
realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial sehingga kebenaran
suatu realitas sosial bersifat relatif.
B. Realitas Sosial sebagai Pengetahuan
Sosiologi
Teori
konstruksi sosial Berger dan Luckmann sangat dipengaruhi Alfred Schutz. Melalui
berbagai karyanya, mereka menjadikan fenomenologi sebagai pendekatan yang mudah
digunakan dalam sosiologi.
Menurut
Berger dan Luckmann, masyarakat mesti dilihat baik sebagai realitas objektif
maupun sebagai realitas subjektif. Seperti yang ditulis Veeger, hal poko
tersebut tidak langsung dimengerti dalam seluruh implikasinya bagi sosiologi.
Veeger mengatakan, sampai abad ini sosiologi menunjukkan ciri-ciri berat
sebelah, yang mengingatkan kita akan sifat ekstrem pandangan kolektivistis dan
pandangan individualistis.
C. Relasi antara individu dan Struktur
Sosial:Sebuah Perdebatan Penting
Sebuah
perdebatan penting dalam teori sosiologi adalah pada relasi antara individu dan
struktur sosial. Kita bisa melihat terdapat tiga posisi utama dalam perdebatan
tersebut:
1.
Beberapa sosiolog berpendapat bahwa
struktur tidak bisa dianggap determinan. Bahkan ada pendapat bahwa struktur
sosial sama sekali tidak ada.
2.
Posisi yang bersebrangan menyatakan
bahwa sosiologi seharusnya hanya menaruh perhatian pada struktur sosial yang
menentukan watak dan tindakan individu sehingga watak agensi menjadi tidak
penting.
3.
Ada proses dialektis: makna diberikan
oleh individu kepada dunia mereka kemudian dari sistem makna yang dipakai
individu dan membatasi tindakan mereka.
Berger
sudah merumuskan tujuan sosiologi dalam bentuk serangkaian pertanyaan, yakni:
“Apa yang sedang orang lakukan disini satu sama lain? Hubungan seperti apa yang
terdapat diantara mereka? Bagaimanakah hubungan tersebut telah diatur dan
disusun menjadi lembaga-lembaga sosial (kemasyaakatan)’ Gagasan-gagasan manakah
yang mendorong orang dan lembaga mereka?”
Dalam
pendangan Berger, sosiolog ialah seseorang yang tertarik oleh manusia serta
kelakuannya. Menurut Berger, “Thinks are
not what they seem”. Sulit bagi Berger merevisi atau memperbaiki definisi
Ma weber, yakni bahwa situasi sosial adalah situasi dimana orang mengarahkan
perilaku mereka yang satu kepada orang lain. Lapisan makna, pengarapan, dan
perilaku atau perbuatan dihasilkan oleh orientasi timbal-balik ini merupakan
bahan untuk analisis sosiologis. Dengan demikian, sama seperti Max Weber,
Berger pun hendak bertolak dari kesadaran manusia.
D. Sosok dan Pemikiran Berger
Pemikiran
Peter Ludwig Berger banyak dipengaruhi sosiologi klasik dan sosiologi fenomenologis.
Berger
dilahirkan di Austria, kemudian menjalani pendidikannya di AS. Pda tahun
1960-an, lahirlah pemikiran Berger pertama kali. Saat itu fungsionalisme
semakin ditinggalkan oleh sosiolog Amerika. Perhatian mulai beralih ke
perspektif konflik dan ke persoalan yang bernuansa humanistis.
Reaksi
negatif terhadap Berger muncul seiring dengan kian meluas gaung perspektif
teoretisnya. Seperti yang dilontarkan Douglas dan Johnson bahwa Berger
sesuangguhnya tergolong pemikir Durhemian. Menurutnya, usaha Berger dan
Luckmann merumuskan teori konstruksi realitas, intinya hanya usaha untuk
memberi justifikasi atau gagasan Durkheim menggunakan fenomenologi.
Menurut
Berger pendekatan fenomenologi akan terhenti ketika mulai memasuki area ilmu
(positivistik). Baginya, fenomenologi hanya sebuah metode deskriptif dan
empiris karena berdasarkan pengalaman manusia.
No comments:
Post a Comment