Tuesday 10 June 2014

Sosiologi Fenomenologis Berger: Bersosiologi dengan Proses Berpikir Fenomenologi

Menurut Berger, semua yang kita tahu dan ada, hanyalah sebatas konstruksi sosial; konstruksi sosial atas realitas.
A.    Media Massa dan Konstruksi Realitas
Teori konstruksi sosial diterapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam sosiologi pengetahuan. Pembentukan masyarakat terjadi melalui tiga proses, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Berger menyatakan bahwa proses konstruksi terjadi diantara individu. Bungin mengkritik konsep tersebut jika konsepnya digunakan pada media massa atau media komunikasi. Berikut kritik Bungin:
1.      Subjek konstruksi tidak selamanya terjadi langsung diantara individu atau individu dengan masyarakat dan negara, tetapi bisa berasal dari media.  Menurut Bungin, konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi karena iklan televisi adalah bagian dari media televisi dan menjadi salah satu sumber otoritas televisi.
2.      Objek yang dibangun konstruksi sosial berupa wacana publik, kesadaran umum, dan konsep-konsep yang objektif, subjektif, maupun simbolis. Menurut Bungin, realitas sosial yang dibangun oleh konstruksi iklan televisi adalah realitas yang bersifat maya, hanya ada di dalam media karena itu bersifat subjektif dan simbolis.
3.      Menurut Bungin, gagasan Berger & Luckmann dapat didekonstruksi oleh individu sebagai bagian proses dialektika antara pemikiran konstruksi sosial dan dekonstruksi. Dekonstruksi dilakukan oleh pemirsa televisi sebagai bagian dari proses konstruksi sosial, yang akhirnya akan membentuk keputusan-keputusan perilaku konsumen.
Ibnu Hamad, seorang ilmuan sosial Indonesia, mengatakan bahwa karena sifat dan fakta pekerjaan media massa adalah menceritakan berbagai peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang disiarkan. Media menyusun realitas atas berbagai peristiwa yang terjadia hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah menyusun realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wancana yang bermakna. Dengan demikian, seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Menurut Hamad, bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Seluruh isi media menggunakan bahasa, baik bahasa verbal maupun nonverbal.
Dalam paradigma komunikasi, studi Bungin dan Hamad seolah memperkuat paradigma konstruktivisme (constuctivism paradigm) dimana realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial sehingga kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.
B.     Realitas Sosial sebagai Pengetahuan Sosiologi
Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann sangat dipengaruhi Alfred Schutz. Melalui berbagai karyanya, mereka menjadikan fenomenologi sebagai pendekatan yang mudah digunakan dalam sosiologi.
Menurut Berger dan Luckmann, masyarakat mesti dilihat baik sebagai realitas objektif maupun sebagai realitas subjektif. Seperti yang ditulis Veeger, hal poko tersebut tidak langsung dimengerti dalam seluruh implikasinya bagi sosiologi. Veeger mengatakan, sampai abad ini sosiologi menunjukkan ciri-ciri berat sebelah, yang mengingatkan kita akan sifat ekstrem pandangan kolektivistis dan pandangan individualistis.
C.    Relasi antara individu dan Struktur Sosial:Sebuah Perdebatan Penting
Sebuah perdebatan penting dalam teori sosiologi adalah pada relasi antara individu dan struktur sosial. Kita bisa melihat terdapat tiga posisi utama dalam perdebatan tersebut:
1.      Beberapa sosiolog berpendapat bahwa struktur tidak bisa dianggap determinan. Bahkan ada pendapat bahwa struktur sosial sama sekali tidak ada.
2.      Posisi yang bersebrangan menyatakan bahwa sosiologi seharusnya hanya menaruh perhatian pada struktur sosial yang menentukan watak dan tindakan individu sehingga watak agensi menjadi tidak penting.
3.      Ada proses dialektis: makna diberikan oleh individu kepada dunia mereka kemudian dari sistem makna yang dipakai individu dan membatasi tindakan mereka.
Berger sudah merumuskan tujuan sosiologi dalam bentuk serangkaian pertanyaan, yakni: “Apa yang sedang orang lakukan disini satu sama lain? Hubungan seperti apa yang terdapat diantara mereka? Bagaimanakah hubungan tersebut telah diatur dan disusun menjadi lembaga-lembaga sosial (kemasyaakatan)’ Gagasan-gagasan manakah yang mendorong orang dan lembaga mereka?”
Dalam pendangan Berger, sosiolog ialah seseorang yang tertarik oleh manusia serta kelakuannya. Menurut Berger, “Thinks are not what they seem”. Sulit bagi Berger merevisi atau memperbaiki definisi Ma weber, yakni bahwa situasi sosial adalah situasi dimana orang mengarahkan perilaku mereka yang satu kepada orang lain. Lapisan makna, pengarapan, dan perilaku atau perbuatan dihasilkan oleh orientasi timbal-balik ini merupakan bahan untuk analisis sosiologis. Dengan demikian, sama seperti Max Weber, Berger pun hendak bertolak dari kesadaran manusia.
D.    Sosok dan Pemikiran Berger
Pemikiran Peter Ludwig Berger banyak dipengaruhi sosiologi klasik dan sosiologi fenomenologis.
Berger dilahirkan di Austria, kemudian menjalani pendidikannya di AS. Pda tahun 1960-an, lahirlah pemikiran Berger pertama kali. Saat itu fungsionalisme semakin ditinggalkan oleh sosiolog Amerika. Perhatian mulai beralih ke perspektif konflik dan ke persoalan yang bernuansa humanistis.
Reaksi negatif terhadap Berger muncul seiring dengan kian meluas gaung perspektif teoretisnya. Seperti yang dilontarkan Douglas dan Johnson bahwa Berger sesuangguhnya tergolong pemikir Durhemian. Menurutnya, usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi realitas, intinya hanya usaha untuk memberi justifikasi atau gagasan Durkheim menggunakan fenomenologi.

Menurut Berger pendekatan fenomenologi akan terhenti ketika mulai memasuki area ilmu (positivistik). Baginya, fenomenologi hanya sebuah metode deskriptif dan empiris karena berdasarkan pengalaman manusia. 

No comments:

Post a Comment