Liburan
tahun baru tahun lalu, saya bersama enam orang teman pergi ke suatu pulau di
sebrang Teluk Banten. Namanya Pulai Tunda. Ada yang mengatakan pulau ini
dulunya tempat penundaan para tawanan yang tidak mau menuruti perintahan
Belanda. Cerita tutur itu mungkin benar, mungkin juga tidak. Tidak ada sejarah
tertulis mengenai cerita masa lampau pulau itu
Pulau
Tunda adalah pulau yang memiliki cukup banyak potensi alam yang indah dan belum
banyak tersentuh tangan-tangan jahil manusia. Wajar saja, belum banyak yang
mengetahui keindahan bahari di pulau
ini. Salah satu alasannya, karena Pulau Tunda belum menjadi rekomendasi tujuan
wisata di dinas pemerintahan.
Menggunakan
kapal kecil bermesin lebih kurang selama tiga jam dari dermaga di teluk Banten,
akhirnya saya tiba di Pulau Tunda. Pertama kali menapaki kaki di pulau itu,
Kami disambut oleh teman-teman komunitas bakau yang sebelumnya telah Kami
kabari mengenai kedatangan untuk tahun baru Kami di pulau itu. Teman-teman
komunitas bakau menjelaskan di tepi termaga mengenai kegiatan yang akan Kami
lakukan dua sampai tiga hari kedepan. Sejenak Kami beristirahat untuk
menghilangkan sedikit rasa lelah diperjalanan laut selama tiga jam. Kami
dipinjami rumah yang cukup besar oleh komunitas bakau. Saat itu pukul 4 sore,
Kami sempat menikmati kesegaran udara sore di sekitar halaman rumah yang tidak
jauh dari pantai itu. Pulau Tunda ditinggali oleh penduduk yang tidak begitu
banyak.
Hari
mulai gelap, malam itu Kami hanya mengobrol tentang penduduk sekitar dan
kegiatan sehari-harinya sambil memakan ikan bakar yang telah Kami bakar
sebelumnya bersama teman-teman komunitas bakau yang datang membawa ikan.
Ternyata, tidak ada rumah penduduk selain di bagian selatan pulau.
Pagi
datang, Kami diantar untuk memasuki kawasan hutan bakau. Suasana hutan bakau
yang belum pernah Kami rasakan sebelumnya. Berbeda sekali jika dibandingkan
dengan suasana hutan yang pernah saya lihat di televisi mengenai hutan bakau.
Hutan bakau disini tumbuh rapi dan seperti baisan yang kemudaian menjadi lorong
dan menyambut jalur perjalanan orang-orang yang melewatinya. Beberapa burung
beterbangan dan hinggap diantara batang pohon. Kaki Kami menginjak pasir
pantai, mata kaki Kami sedikit tenggelam dengan air yang sangat jernih diatas pasir itu. Perjalanan hutan bakau cukup panjang dan
melelahkan, namun mengasyikkan. Kami menyusuri hutan bakau dari bagian timur
pulau, hingga sampailah Kami pada titik akhir perjalan hutan bakau, yaitu di
utara pulau. Belum puas dengan keindahan hutan bakau, Kami snorkling di pantai
utara pulau. Teman komunitas bakau membawa alat snorkling cukup banyak,
cukuplah untuk Kami snorkling bersama.
Jam
makan siang membuat perut Kami keroncongan. Kami dan beberapa anggota komunitas
bakau menyelam ke laut untuk mencari binatang yang dapat Kami bakar untuk
dimakan. Cukup banyak tangkapan Kami saat itu. Tidak semua nama binatang itu
Kami ingat, yang jelas rasanya enak. Hutan bakau, terumbu karang dan ikan di
dalam air, memakan hasil laut yang masih
segar, dan berfoto tentunya, membuat Kami lupa dengan waktu yang mulai sore.
Kami kembali ke rumah.
Malam
segera hadir. Malam itu adalah malam tahun baru. Malam yang berbeda dengan
malam tahun baru biasanya. Tidak ada kembang api, tidak ada petasan, atau
anak-anak yang sekadar berlarian. Seperti pulau yang tak berpenghuni. Mungkin
sebagian besar penduduk yangmenggantungkan hidupnya dari hasil laut ini sudah
lelah dengan pekerjaannya siang tadi, atau mereka sedang bersiap untuk
mendapatkan melaut nanti malam. Entahlah.
Setelah
makan malam, Kami ditawari untuk memancing di di dermaga tempat perahu ikan
bersandar, yaitu di barat pulau. Melewati tahun baru dengan memancing,
sepertinya seru. Itu yang Kami pikirkan. Perjalanan Kami menuju pantai barat
sekitar satu setengah jam. Cukuplah membuat Kami menghangatan badan yang dingin
oleh angin malam. Lampu rumah semakin lama semakin remang, dan jalan semakin
lengang. Hanya ada suara gesekan sandal dan candaan ringan Kami.
Tibalah
Kami di pantai barat pulau. Kami sempat memancing sebentar. Menjelang tengah
malam, air semakin pasang. Memancing pun sudah tidak bisa lagi dilakukan. Angin
semakin kencang, bendera-bendera kecil nan usang di perahu berkibaran. Lima
menit lagi tepat pukul 12 malam. Komunitas Bakau menyuruh Kami untuk berbaris
satu banjar di ujung dermaga menghadap ke laut lepas. Seperti ingin
memperlihatkan sesuatu, teman-teman Komunitas Bakau hanya berkata “siap ya. Ada
hantu laut nanti”. Tidak lama setelah itu, sejauh titik pandang mata, muncullah
cahaya-cahaya merah dari permukaan laut yang letaknya cukup jauh dari tempat
Kami berdiri. Cahaya-cahaya merah itu perlahan namun semakin banyak dengan alur
yang santai dan stabil, bermunculan vertikal cukup tinggi lalu menghilang. Ada
pula yang diam di udara, atau kemudian bergerak horizontal menuju cahaya yang
lainnya. Sangat indah, sungguh menakjubkan. Benda apakah itu? Kami
bertanya-tanya sendiri, karena teman-teman komunitas menyebutnya dengan istilah
‘hantu laut’. Berbentuk seperti ikan yang berdiri, terbang, bercahaya terang,
entah apa. Hawa dingin angin yang mengibaskan pakaian Kami seolah terlupakan
oleh cahaya-cahaya itu. Cahaya merah yang terbang lembut sepserti menari
membuat formasi. Satu jam kemudian, cahaya itu mulai turun kembali ke permukaan
laut dengan lembut. Setelah tu Kami saling berpelukan mengucapkan selamat tahun
baru dan mendoakan untuk hal yang lebih baik di tahun selanjutnya.
Itulah
cerita pengalaman perjalanan saya. Cerita mengenai Pulau Tunda Kami di tahun
baru.
No comments:
Post a Comment