Friday 19 October 2012

Tokoh Filsafat - Hegel


George Wilhelm Friedrich Hegel merupakan seorang tokoh utama dalam idealisme Jerman. Ia merupakan salah satu tokoh filsafat spekulatif terkenal. Hegel dilahirkan di Stuttgart, Jerman pada tahun 1770. Hegel belajar teologi dan filsafat di Tubingen, bersama Schelling. Selama beberapa tahun, Hegel bekerja sebagi dosen pribadi, tetapi berkat suatu warisan ia mampu melanjutkan studi di Jena, kemudian ia menjadi dosen filsafat.
Ketika kota Jena diduduki oleh Napoleon pada tahun 1806, Hegel melarikan diri ke Nurnburg dan menjadi rektor Gymnasium. Pada tahunn 1817 Hegel diundang untuk menjadi guru besar di Heidelberg dan satu tahun kemudian di Berlin. Hegel menjadi sangat populer disana dan disebut “professor professorum”. Banyak mahasiswa datang dari mana-mana untuk mendengarkan ajarannya. Tahun 1813 ia meninggal di Berlin.
Tulisan-tulisan penting
1807                - Phanomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh)
1812-1816       - Wissenschaft der Logik (Ilmu Logika)
1817                - Enzyklopedie der philosophischem Wissenschaften (1830 edisi baru)
1821                - Grundlinien der Philosophie des Rechts (Garis-garis dasar filsafat  hukum)

Pikiran-pikiran pokok
a.       Idealisme mutlak
Orientasi filsafatnya adalah keagamaan yang kuat. Kant telah mengajarkan bahwa manusia hanya mengenal gejala-gejala, “fenomin-fenomin”. Benda-benda yang diamati oleh pancaindera diberi struktur oleh kategori-kategori dari akal. Akan tetapi menurut Hegel, segala sesuatu dapat diketahui. Menurut Hegel, Kant berbuat kebingungan kategori dalam mempermasalahkan eksistensi Tuhan sebagai All Perfect Being. Hegel menyatakan kekeliruan Kant sehubungan dengan perbedaaan kategori, finite dan infinite. Kata Hegel, jangan menyamakan eksistensi Tuhan (infinite) dengan eksistensi yang finite.
b.      Struktur dialektis filsafat Hegel
Hegel mengatakan bahwa proses historis bersifat dialektis. Dialektika berasal dari kosa kata Yunani Kuno yang merujuk semacam pemikiran. Dalam karyanya, dialektika ini menunjukkan suatu suatu proses pemikiran atau logika.
Suatu pernyataan khusus diungkapkan (tesis), yang selanjutnya ditarik kontradiksi dari pernyataan tersebut. Dari situ, diperoleh suatu konsepsi baru dengan penekanan pada aspek kontradiktifnya (antithesis). Akhirnya akan ditemukan suatu resolusi atau perpaduan antara dua pandangan ini (sintesis). Hegel memandang keseluruhan sejarah manusia sebagai penampakan dari pola ini yang mana periode watu tertentu memuat beberapa konsepsi mengenai hal-hal tertentu dan konsepsi tersebut memuat di dalamnya kontradiksi-kontradiksi atau kesulitan-kesulitan tertentu yang akhirnya menjadi eksplisit. Kontradiksi-kontradiksi tersebut ditransendensikan oleh suatu konsepsi baru akan suatu hal dan demikian seterusnya. Sepanjang proses ini, Roh semakin mengenal dirinya dengan baik sampai pada tingkat ultimo, yakni disadarinya pengetahuan Absolut.[1]
Apa persinya dialektika Hegel?
Pertama, berpikir secara dialektis berarti berpikir dalam totalitas. Totalitas berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantarai dan diperantarai).
Kedua, seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan “realitas yang sedang bekerja”. Disini menjadi jelas bahwa proses dialektis yang meliputi kontradiksi negasi dan mediasi itu bukan semata-mata abstrak, melainkan terjadi dalam realitas.
Ketiga, berpikir dialektis berarti berpikir dalam perspektif empiris-historis. Pemikiran dialektis menolak pemikiran yang sama sekali formal. Pemikiran dialektis menekankan isi atau substansi dari masing-masing kenyataan empiris yang tidak boleh saling mengecualikan. Pemikiran dialektis mengarah pada pendekatan yang lebih kaya.
Misalnya, ia tidak berpikir tentang “lurus” sebagai lawan “tidak lurus”, melainkan sebagai berlawanan dengan “bengkok”, “melengkung”, “zig-zag”, dan sebagainya.
Keempat, berpikir dialektis berarti berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praxis.
Pemikiran dialektis tidak mengandaikan adanya kesenjangan antara teori dan praxis yang harus dijembatani, melainkan bagaimana suatu teori dapat membuahkan praxis. Menurut Hegel, teori tersebut harus berpangkal pada realitas, termasuk kemampuan kita untuk mengubah realitas. Teori ini tidak lagi membutuhkan aplikasi terhadap realitas, sebab realitas sudah termasuk didalamnya. Teori macam ini sifatnya “afirmatif”, artinya mau menyatakan diri menjadi realitas. Hegel yakin hal tersebut bisa dilaksanakan karena pada hakekatnya kesadaran (teori) sudah mencapai kesempurnaan dalam roh, didalamnya terkandung realitas yang sudah saatnya “diafirmasikan” (dinyatakan keluar).
The phenomenology of Spirit adalah usaha Hegel untuk menyelidiki sejarah dengan proses dialektikal pemikiran. Marx, murid Hegel yang mempelajari Hegel secara sungguh-sungguh, menyebutkan buku itu sebagai “tempat kelahiran yang sejati dan rahasia atas filsafat Hegel.” Bagi Hegel, fenomenologi adalah studi tentang penampakan, fenomena, cara berada objek-objek terhadap kita sejauh yang kita tangkap adalah ilmu yang benar. Fenomenologi ini dilawankan dengan metafisik. Roh adalah dunia Hegel bagi Akal Kosmik yang mengenal dirinya sendiri dalam alur proses historis dan dialektikal yang terjadi. Buku tersebut menyiratkan suatu usaha Hegel dalam memeriksa dinamika kerja Roh yang tampak pada umat manusia. Menurut Hegel buku tersebut adalah kebenaran sejarah manusia dalam segala maknanya dan yang kepadanya kita semua diarahkan.
Dialektik merupakan suatu “irama” yang memerintahkan seluruh pikiran Hegel. Kelemahan filsafat Hegel antara lain bahwa segala sesuatu “dicocokkan” dengan struktur ini, “dipaksakan”untuk menerima bentuk yang sesuai dengan keseluruhan.[2]
c.       Keyakinan dasar
Menurut Hegel, “ide yang dapat dimengerti” dan “kenyataan” itu sama. Rasionalitas dan realitas itu sama, tidak ada perbedaan antara “rasio” dan “realitas”. Yang dimengerti itu real, dan yang real itu dimengerti. “Berpikir” dan “ada” itu sama. Seluruh kenyataan itu satu proses dialektis.
d.      Roh
Hegel mengusulkan idealisme absolut. Ia berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk oleh pikiran individu tetapi oleh suatu Akal Kosmik tunggal yang disebut Roh. Hegel mengatakan, seluruh kenyataan merupakan satu “kejadian” besar, dan kejadian ini adalah “kejadian  roh”.
Roh ini adalah Allah. Bukan Allah sebagai “persona”, “Allah yang sama sekali lain”(“Transendensi”), melainkan suatu Allah yang betul-betul “imanen”.  Pada diri Hegel, alam hanya merupakan satu “tahap” dari kejadian Allah. Pendapat Hegel cukup berbeda dari pikiran kristiani. Agama menurut Hegel kurang sempurna: agama itu tahap terakhir ke arah kebenaran filsafat. Agama memberi kebenaran tentang Allah dalam bentuk anggapan-anggapan. Filsafat memberi kebenaran yang sama dalam bentuk satu-satunya yang patut yaitu bentuk pengertian-pengertian.[3]
Menurut Hegel, keseluruhan sejarah manusia  adalah Roh yang memahami dirinya sebagi suatu realititas. Hal ini menjadi kunci pemikiran Hegel.
Hegel menyatakan bahwa ada berbagai cara untuk memandang dunia. Ada sejumlah “bentuk-bentuk kesadaran”. Bentuk-bentuk kesadaran tersebut menyatakan lebih baik atau mungkin lebih lengkap, bahwa sesuatu  muncul sebagai bagian dari keseluruhan.
Proses historis cenderung menuju pada pandangan sempurna tentang dunia. Sepanjang proses sejarah ini,  Roh mengenali dirinya semakin baik, kebenaran berkembang dan dalam segi literer hal yang sama terjadi pada realitas. Sejarah dalam kata lainnya, sedang menuju suatu tempat dan Hegel mempelajarinya, mengurai maknanya. Dalam arti ini, Hegel adalah filsuf sejarah yang pertama[4]
Kaitan Pemikiran Hegel dengan ilmu Komunikasi
Hegel mengatakan, “ide yang dapat dimengerti” dan “kenyataan” itu sama. Jika kalimat Hegel dikaitkan dengan kalimat Floyd L. Ruch yang mengatakan “berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambang-lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak” , terdapat korelasi diantara keduanya. Misalnya, saya memiliki uang sebanyak lima milyar. Jika setiap hari saya hanya membelanjakannya seratus ribu, dalam berapa tahun uang saya akan habis? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya tidak perlu menghadirkan uang lima milyar. Saya cukup menggunakan angka, kali, bagi, jumlah, atau kurang (dalam komunikasi disebut lambang verbal). Secara tepat, saya dapat menjawabnya melalui berpikir dan berhitung. Caranya dapat dimengerti, masuk akal, dan akan sesaui dengan kenyataan.  
Kalimat Hegel yang menyatakan bahwa rasionalitas dan realitas itu sama, tidak ada perbedaan antara “rasio” dan “realitas”, memang dapat dibuktikan dari contoh hitung-hitungan diatas. Akan tetapi, kalimat ini tidak sejalan dengan pengertian realitas yang sesungguhnya.
Jika dalam hal menghitung menggunakan rasional sesuai dengan realitas, belum tentu pada keadaan sosial sesuai realitas. Misalnya, seorang mahasiswa mendapat IPK 3,75. Secara rasional, ada kemungkinan-kemungkinan jawaban yang diputuskan dengan alasan yang rasional pula. Misalnya dia mahasiswa yang rajin belajar, sedang beruntung, atau menyontek kepada teman sebelahnya saat ujian. Akan tetapi kita tidak tau realitasnya, siapa sangka ternyata nilai mahasiswa tersebut tertukar dengan nilai mahasiswa kelas lain.
Charles E. Osgood, G. Suci, dan P. Tannenbaum membuat suatu instrumen Beda-Semantik untuk mengukur keakuratan suatu realitas. Dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar karya Prof. Deddy Mulyana, dikatakan bahwa realitas yang sebenarnya tidak bersifat hitam-putih, tetapi terdiri dari jutaan corak abu-abu dan warna lainnya. Realitas secara utuh tidak dapat diungkapkan.

Sumber :
Garvey, James. 2010. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta: Kanisius
Hamersma, Harry. 1983. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta : Gramedia
Hartoko, Dick. 1995. Kamus Populer Filsafat. Jakarta Utara: RajaGrafindo Persada
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Rakhmat, Jalaluddin.1985. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja rosdakarya
Rapat, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kansius
Sindhunata, 1982. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh      Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: Gramedia







[1] Garvey, James. 2010. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta: Kanisius, hal 177-178
[2]Ibid, hal 176-177
[3] Hamersma, Harry. 1983. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta : Gramedia, hal. 43
[4] Ibid, hal. 42

1 comment:

  1. Bagus.....minta izin copy ya Mba....untuk bahan referensi.....terimakasih..

    ReplyDelete