Tuesday 23 October 2012

Tunda Kami di Tahun Baru

Liburan tahun baru tahun lalu, saya bersama enam orang teman pergi ke suatu pulau di sebrang Teluk Banten. Namanya Pulai Tunda. Ada yang mengatakan pulau ini dulunya tempat penundaan para tawanan yang tidak mau menuruti perintahan Belanda. Cerita tutur itu mungkin benar, mungkin juga tidak. Tidak ada sejarah tertulis mengenai cerita masa lampau pulau itu
Pulau Tunda adalah pulau yang memiliki cukup banyak potensi alam yang indah dan belum banyak tersentuh tangan-tangan jahil manusia. Wajar saja, belum banyak yang mengetahui keindahan bahari di  pulau ini. Salah satu alasannya, karena Pulau Tunda belum menjadi rekomendasi tujuan wisata di dinas pemerintahan.
Menggunakan kapal kecil bermesin lebih kurang selama tiga jam dari dermaga di teluk Banten, akhirnya saya tiba di Pulau Tunda. Pertama kali menapaki kaki di pulau itu, Kami disambut oleh teman-teman komunitas bakau yang sebelumnya telah Kami kabari mengenai kedatangan untuk tahun baru Kami di pulau itu. Teman-teman komunitas bakau menjelaskan di tepi termaga mengenai kegiatan yang akan Kami lakukan dua sampai tiga hari kedepan. Sejenak Kami beristirahat untuk menghilangkan sedikit rasa lelah diperjalanan laut selama tiga jam. Kami dipinjami rumah yang cukup besar oleh komunitas bakau. Saat itu pukul 4 sore, Kami sempat menikmati kesegaran udara sore di sekitar halaman rumah yang tidak jauh dari pantai itu. Pulau Tunda ditinggali oleh penduduk yang tidak begitu banyak.
Hari mulai gelap, malam itu Kami hanya mengobrol tentang penduduk sekitar dan kegiatan sehari-harinya sambil memakan ikan bakar yang telah Kami bakar sebelumnya bersama teman-teman komunitas bakau yang datang membawa ikan. Ternyata, tidak ada rumah penduduk selain di bagian selatan pulau.
Pagi datang, Kami diantar untuk memasuki kawasan hutan bakau. Suasana hutan bakau yang belum pernah Kami rasakan sebelumnya. Berbeda sekali jika dibandingkan dengan suasana hutan yang pernah saya lihat di televisi mengenai hutan bakau. Hutan bakau disini tumbuh rapi dan seperti baisan yang kemudaian menjadi lorong dan menyambut jalur perjalanan orang-orang yang melewatinya. Beberapa burung beterbangan dan hinggap diantara batang pohon. Kaki Kami menginjak pasir pantai, mata kaki Kami sedikit tenggelam dengan air  yang sangat jernih diatas pasir itu.  Perjalanan hutan bakau cukup panjang dan melelahkan, namun mengasyikkan. Kami menyusuri hutan bakau dari bagian timur pulau, hingga sampailah Kami pada titik akhir perjalan hutan bakau, yaitu di utara pulau. Belum puas dengan keindahan hutan bakau, Kami snorkling di pantai utara pulau. Teman komunitas bakau membawa alat snorkling cukup banyak, cukuplah untuk Kami snorkling bersama.
Jam makan siang membuat perut Kami keroncongan. Kami dan beberapa anggota komunitas bakau menyelam ke laut untuk mencari binatang yang dapat Kami bakar untuk dimakan. Cukup banyak tangkapan Kami saat itu. Tidak semua nama binatang itu Kami ingat, yang jelas rasanya enak. Hutan bakau, terumbu karang dan ikan di dalam air, memakan hasil laut  yang masih segar, dan berfoto tentunya, membuat Kami lupa dengan waktu yang mulai sore. Kami kembali ke rumah.
Malam segera hadir. Malam itu adalah malam tahun baru. Malam yang berbeda dengan malam tahun baru biasanya. Tidak ada kembang api, tidak ada petasan, atau anak-anak yang sekadar berlarian. Seperti pulau yang tak berpenghuni. Mungkin sebagian besar penduduk yangmenggantungkan hidupnya dari hasil laut ini sudah lelah dengan pekerjaannya siang tadi, atau mereka sedang bersiap untuk mendapatkan melaut nanti malam. Entahlah.
Setelah makan malam, Kami ditawari untuk memancing di di dermaga tempat perahu ikan bersandar, yaitu di barat pulau. Melewati tahun baru dengan memancing, sepertinya seru. Itu yang Kami pikirkan. Perjalanan Kami menuju pantai barat sekitar satu setengah jam. Cukuplah membuat Kami menghangatan badan yang dingin oleh angin malam. Lampu rumah semakin lama semakin remang, dan jalan semakin lengang. Hanya ada suara gesekan sandal dan candaan ringan Kami.
Tibalah Kami di pantai barat pulau. Kami sempat memancing sebentar. Menjelang tengah malam, air semakin pasang. Memancing pun sudah tidak bisa lagi dilakukan. Angin semakin kencang, bendera-bendera kecil nan usang di perahu berkibaran. Lima menit lagi tepat pukul 12 malam. Komunitas Bakau menyuruh Kami untuk berbaris satu banjar di ujung dermaga menghadap ke laut lepas. Seperti ingin memperlihatkan sesuatu, teman-teman Komunitas Bakau hanya berkata “siap ya. Ada hantu laut nanti”. Tidak lama setelah itu, sejauh titik pandang mata, muncullah cahaya-cahaya merah dari permukaan laut yang letaknya cukup jauh dari tempat Kami berdiri. Cahaya-cahaya merah itu perlahan namun semakin banyak dengan alur yang santai dan stabil, bermunculan vertikal cukup tinggi lalu menghilang. Ada pula yang diam di udara, atau kemudian bergerak horizontal menuju cahaya yang lainnya. Sangat indah, sungguh menakjubkan. Benda apakah itu? Kami bertanya-tanya sendiri, karena teman-teman komunitas menyebutnya dengan istilah ‘hantu laut’. Berbentuk seperti ikan yang berdiri, terbang, bercahaya terang, entah apa. Hawa dingin angin yang mengibaskan pakaian Kami seolah terlupakan oleh cahaya-cahaya itu. Cahaya merah yang terbang lembut sepserti menari membuat formasi. Satu jam kemudian, cahaya itu mulai turun kembali ke permukaan laut dengan lembut. Setelah tu Kami saling berpelukan mengucapkan selamat tahun baru dan mendoakan untuk hal yang lebih baik di tahun selanjutnya.
Itulah cerita pengalaman perjalanan saya. Cerita mengenai Pulau Tunda Kami di tahun baru.

No comments:

Post a Comment